Sabtu, 24 September 2016

Sakit


           Kamu bagaikan permata di tengah – tengah bongkahan emas. Berbeda dari yang lain, setidaknya di mataku, kau adalah yang paling bersinar, entah apa yang membuatku tertarik padamu. Sejak kapan ku memerhatikanmu, melihat berbagai macam ekspresi yang telah kamu ciptakan. Dengan ajaibnya sudah membuatku rindu bila kau tidak ada di pengawasanku.

Kamu datang bagaikan kilat, bagaikan rintik hujan yang turun ke tanah, terus menerus tanpa henti. Menghancurkan dinding pelindungku, membawaku lari dari batas amanku. Mengajakku pergi ke istanamu, memperlakukanku bagaikan tuan puteri. Entah apa status kita, apakah hanya sebatas titik koma yang bisa berhenti kapan saja, atau ini semua hanya khayalan mimpiku. Jika begitu, biarkan aku tertidur dalam jangka yang lama, karena aku masih ingin disini mendengarkan ocehanmu seperti yang biasa aku lakukan.

Berbagai macam cerita yang kamu lontarkan, suara berat yang kamu latunkan, membuatku terpaku di tempatku berada. Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku masih ada disini? Kenapa aku masih mendengarkan ceritanya yang bahkan tidak terlalu menarik untuk didengar. Namun, bibir ini selalu mengeluarkan tawa secara otomatis, mata ini pernah berurai air mata ketika kamu sedang bersedih. Pipi ini akan memerah ketika kamu melontarkan gombalan – gombalan kosongmu. Aku akui, kamu sudah  berhasil mengambil semuanya.

Remang – remang lampu mempermudahku untuk melihat wajahmu dengan jelas, aku ingin sekali berterima kasih kepada Tuhan setiap saat ketika aku bisa melihat kedua manik matamu yang membuatku semakin rindu. Kamu didepanku, sedang menyeruput segelas kopi dengan aroma yang bisa tercium oleh indera penciumanku. Wajahmu seakan menunjukkan bila kamu menikmati minuman yang kamu minum, terlihat dari kedua matamu yang menatap segelas kopi itu dengan hati – hati, menyukai tiap tegukkannya sehingga menimbulkan ulasan senyum yang selalu aku tunggu setiap hari. Aku terkikik ketika tanpa aku sadari, aku iri pada segelas kopi ekspresso.

“Hmm, kamu kenapa?” tanyamu.

Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak, tidak apa – apa. Err- Tumben sekali kamu mengajakku kesini?” Kedua pipiku memerah sembari melihat kearah kedua matanya. Memujanya secara diam – diam. Ya, kami sedang berada tempat yang menurutku romantis, di sebuah kafe yang bisa membawa kita ke masa lalu. Dengan berbagai macam bunga dan warna menghiasi tiap sudut ruangan. Ditambah, kamu mengenakan pakaian semi formal yang membuatmu semakin menarik. Tidak, kamu sempurna walaupun kamu mengenakan pakaian yang biasa kamu kenakan disaat kamu sedang berada di rumahmu.

Memoriku membuatku ingat kembali kejadian dimana kamu menungguku dirumahmu, dengan tampilan yang berantakan, sedangkan tanganmu tidak bisa lepas dari tanganmu. Saat itu aku sedang bersembunyi di balik bangunan, memerhatikan ekspresi khawatirmu dengan telepon genggam yang senantiasa menempel di telinga kananmu ketika hari sudah semakin sore. Lalu, kamu langsung beranjak dari posisi nyamanmu, memasuki rumah kontrakkanmu dan keluar dengan setelan baju pergi khasmu. Kaos putih dengan garis biru, dipadu oleh celana panjang bewarna biru tua dan sepatu kets kesukaanmu

Ketika kamu hendak menaiki sepeda motormu, aku muncul dihadapannya. Ia menoleh kepadaku dengan mata yang melebar namun segera ia menunjukkan senyum andalannya. Senyum lebar ditambah dengan pelukkan hangat.

“Aku pikir kamu kenapa – kenapa, seharusnya aku yang mengantarkannya sendiri kerumahmu.” Kata – katamu seakan menunjukkan kekhawatiran yang mendalam, suaramu semakin mendalam, semakin membuatku berharap lebih.

Kamu menundukkan kepalanya, sehingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kedua tangannya menangkup wajahku dengan lembut. “Kau tahu, aku mendengar berita bila ada seorang kriminal yang melarikan diri ke daerah ini-“ Kedua matanya menghangat,hampir membuatku salah paham bila ada cinta disana. “Dan tolong angkat telepon dariku,” lanjutnya sembari melepaskan tangkupannya.

Segera aku tangkis semua khayalanku, dengan wajahku yang masih menghangat, kedua tanganku berusaha menyalakan telepon genggam milikku. Betapa terkejutnya aku ketika kamu meneleponku berkali – kali, memenuhi hampir dua halaman panggilan yang tidak terjawab. Dan mendapatkan banyak pesan yang tidak terjawab olehmu. Oh tidak, jangan buatku berharap lebih jauh. Tapi rela kah aku bila melihatmu dengan yang lain? “Jangan buat aku khawatir lagi-“ Kamu memelukku untuk kedua kalinya hari itu, menjalarkan kehangatan, membuatku terlindungi dari berbagai macam bahaya. Membuatku semakin terobsesi olehmu.

“Meysa”

“Meysa”

Suaramu berhasil menyelamatkanku dari lautan memori, pipiku kembali merona terlebih sehabis aku mengingat kenangan indah denganmu. Bila kita nanti akan berakhir, aku akan lebih memilih bertahan seperti ini. Biarkan hanya aku yang jatuh cinta, anggap aku bodoh, namun perasaan yang kini kurasakan seakan membutakanku akan kenyataan.

“Kamu hari ini aneh deh,” kekehmu. “Penasaran ngga kenapa aku menyuruhmu untuk datang?” Kedua matamu berbinar melihatku, membuatku terkikik akan tingkahnya yang bersemangat kini. Aku menyukainya, tiap jengkal ekspresimu. Tidak ada yang tidak aku sukai.

Kamu menungguku untuk menjawab pertanyaannya dengan senyuman lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Hey, bolehkah aku berharap lagi. Bila kamu mencintaiku, lebih dari yang pernah kamu sebutkan. Ya, cintai aku sebagai perempuan. “Tidak, memangnya kenapa?”

Kamu mengeluarkan sebuah buket bunga bewarna merah marun. Jantung ini berdegup kencang ketika ia menghirup aroma kumpulan bunga mawar itu. Wajahku kembali memanas, mungkin lebih panas dari yang biasa. Bila aku tahu saat ini akan datang, aku akan memakai pakaian yang lebih pantas, tidak seperti yang aku kenakan, kemeja bewarna putih yang dipadu oleh celana pensil bewarna biru muda.

“Kamu tahu, aku sedang menyukai seseorang. Seseorang yang sebenarnya sudah aku perhatikan sejak dulu.” Kamu mengatakannya dengan penuh penghayatan, penuh cinta membuat bibirku mengatup. “Seseorang yang entah kapan aku perhatikkan sejak lama..” Kamu kembali mendongakkan kepalamu, kedua pipimu yang sedikit merona. Aku berusaha mencari kebohongan di manik matamu, tapi tidak. Apakah kamu bersungguh – sungguh?

Kamu segera menarik tanganku sebelum aku berhasil mengeluarkan kata – kata yang sangat ingin aku keluarkan, ‘Aku mencintaimu, sudah lama dan kini kamu sudah membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya.’ Namun tidak, sepertinya kata – kata itu tidak akan bisa terucap. Karena kamu membawaku kehadapan seorang perempuan dengan paras yang sangat cantik bagaikan tuan puteri sungguhan. Membuatku merasa hanya sebagai tokoh tambahan, atau mungkin orang kedua di tengah – tengah tokoh utama. Tokoh yang paling di benci oleh pembaca.

Kamu bersimpuh sedangkan kedua tanganmu menggenggam erat buket bunga mawar itu dihadapannya. Aku tahu kamu sedang gugup, aku tahu bahwa kamu menatap perempuan itu dengan penuh cinta. Aku tahu semua, semuanya. Sudah 10 tahun lebih kita bersama, membuatku yakin bila hanya aku yang tahu kekurangan maupun kelebihanmu selain keluargamu dan Tuhan.

“Arlyn, maukah kamu- Menjadi kekasihku?” Kamu mengucapkannya tanpa mengetahui, bila perasaanku sudah hancur menjadi berkeping – keping sekarang. Rusak semua rencana cerita yang ingin aku lakukan denganmu. Apakah selama ini kamu tidak merasakan perasaan apa yang aku harapkan selama ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mencintaimu dalam diam yang selama ini aku lakukan?

Arlyn, perempuan itu menganggukkan kepalanya tanda setuju. Menimbulkan perasaan senang yang terlukis jelas di wajahmu. Orang – orang disekeliling mereka menepuk kedua tangannya sembari menggoda pasangan baru hari ini, dan ada yang memberikan mereka selamat. Aku termasuk orang – orang tersebut, memberikan tepuk tangan dan kata – kata yang bahkan tidak ingin aku lontarkan.


Oh Tuhan, bila mana Engkau tahu hari ini akan datang. Mengapa Kamu membiarkan aku merasakan jatuh cinta? Perasaan yang dulu aku anggap sebagai omong kosong, karena banyak sekali orang – orang yang terpuruk oleh ini. Dan dengan bodohnya aku merasakannya, sesuatu yang mungkin bisa menutup pintu hatiku untuk jangka waktu yang sangat lama. 

Minggu, 11 September 2016

GAME OVER

deleted later
too much dramas

GAME OVER
By Suryarini D
            Cahaya jingga menerobos masuk melalui sela sela gorden, meninggalkan kesan manis dari langit sore hari itu. Terlihat jarang orang-orang yang melewati gerbang, karena jarum jam sudah menunjuk kearah lima. Angin berhembus sembari memainkan anak anak rambut Alea, ya, gadis itu masih berdiam di sebuah kelas dengan tatapan kosong. Ia sesekali menghembuskan nafas berat dan menenggelamkan dirinya dibawah alam sadarnya. Mengkhayal lebih tepatnya, dimana ia bisa memikirkan bahagianya ketika ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Keinginannya mungkin bisa ia impikan, tetapi sulit ia gapai.
            Decitan pintu kelas terdengar memekikkan gendang suara Alea, ia tanpa sadar langsung menatap kesal siapa gerangan yang membuka pintu belakang kelasnya.
            Siera.
            Seorang gadis percaya diri dengan rambut hitam bergelombangnya, matanya memicingkan secara tajam kearah Alea dengan jengah. Ia berdiam ditempat sembari mengatur nafasnya, lalu ia langkahkan tungkai kakinya dengan nada cepat kearah gadis pengkhayal itu.
            “Alea! Gue sama Arsy nyariin lo, eh lonya malah disini,” cercanya. Gadis didepannya hanya bisa terkekeh pelan sembari menepuk-nepuk tempat duduk disebelahnya. “Duduk, Gue tadi lelah gara-gara abis dari klub ‘pencinta binatang,’ tadi gue dapet giliran piket buat ngasih makan.” Siera hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti, ia mendongakkan kepala kearah pintu yang kembali terbuka. Garis mulutnya tertarik keatas ketika menyadari keberadaan sahabatnya yang lain, Arsy.
            “Loh kok kalian malah santai disini, Aku tadi nyariin sampai gedung sebelah loh,” kata Arsy sembari diikuti dengan mencebik mulut. Siera terlihat gemas melihat sahabatnya yang sedang merungut kesal diambang pintu. Tidak butuh lama, Arsy sudah menduduki salah satu tempat duduk didepan Siera. “Jadi, kita pulang?” tanyanya polos. Alea menganggukkan kepalanya dengan malas.
            “Ya- Tapi, kita harus beli bahan-bahan makanan buat nanti malam.” Siera menyambar tas punggungnya yang bewarna merah marun dan beranjak dari tempat duduknya. Sedangkan kedua sahabatnya juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka berjalan beriringan menuju koridor sekolah.
            Arsy tiba-tiba memegangi perutnya, mukanya berubah pucat pasi dengan sorotan mata yang menyiksa. Siera yang cepat menyadari jika sahabatnya sedang kesakitan tanpa sadar langsung membawa lari Arsy kearah ruangan UKS.
            “Dih ditinggal lagi.” Alea membenarkan selempangan tas punggungnya dan terus berjalan hingga ia mendengar seseorang memanggil namanya. Namun, ketika ia melihat kebelakang, tidak ada siapa-siapa. Bulu kuduknya merinding, suaranya lagi-lagi terdengar menggelitik organ pendengarannya. Suaranya semakin terdengar ketika ia berusaha berjalan cepat lurus kedepan. Entah mengapa kakinya berhenti didepan pintu di sebuah ruangan yang tidak mempunyai ventilasi. Ia tidak tahu pasti mengapa sekolahnya mempunyai ruangan tersebut, banyak yang bilang bila ada kesalahan dalam pembangunanya. Jadi ruangan ini memang sengaja terbengkalai.
            “Alea-“ Nafasnya tercekat ketika namanya kembali terdengar. Suara itu seakan memaksanya untuk membuka pintu ruangan tersebut, tetapi tidak berhasil. “Alea-“ “Alea-“ “Alea-“
            Ia tidak tahan, ingin rasanya berlari dengan cepat meninggalkan sekolah ini, dan berlindung dibawah selimut seperti yang ia lakukan ketika suara petir terdengar memekikkan telinganya.
            “Alea-“ Badannya tanpa sengaja tersungkur kebelakang karena ia merasakan sentuhan di pundakknya. Matanya tertuju ke arah manik mata sahabatnya, Siera. Arsy yang memang keadaanya sedang lemah hanya bisa menatapnya dengan tatapan lelah. “Kamu kenapa?”
            Alea kembali menatap pintu yang tepat dibelakangnya sekali lagi, memastikan jika ia tidak lagi mendengar namanya dipanggil secara memilukan. Hanya gelengan kepala yang bisa ia tunjukkan kepada Siera, seakan ketakutan sudah membungkam mulutnya.
            Siera menyempatkan untuk menghela nafas sebelum ia menggapai tangan Alea untuk segera pergi dari sekolah yang dianggap ‘penjara’ bagi kebanyakan siswa-siswi.
            Di perjalanan pulang, mentari seakan meredupkan cahayanya sedangkan rembulan sudah muncul dengan tidak sabar ingin mendapatkan perannya hari ini. Alea mengadahkan kepalanya memerhatikan langit sembari menetralisir ketakutannya tadi.
            Seseorang memanggilnya, tapi mengapa? Pikirnya
            “Le, Lo ngga apa-apa kan’ makan bubur hari ini? Badannya Arsy panas banget, maagnya dia kambuh. Tadi sih dia udah minum promag, tapi tetep aja Gue ngga yakin dia bisa makan berat macam burger gitu,” kata Siera panjang lebar. Alea hanya menatap sahabatnya dengan tatapan sendu, didepannya ada perempuan yang bisa dikatakan sempurna oleh orang-orang disekitarnya. Siera mempunyai kekayaan, kecantikan, kepintaran, dan hal-hal lain yang Alea tidak punya maupun yang tidak ia kuasai. “Apapun boleh, yang penting makan, “ balasnya sembari memecah suasana.
            “Yee, Lo mah enak tinggal makan. Bantu kek sekali-sekali,” kata Siera dengan sarkastis. Arsy yang melihat argument yang dibuat oleh kedua sahabatnya hanya bisa terkekeh sembari sesekali memegangi perutnya. Perih katanya.
            Tidak terasa langkah kakinya sudah membawa mereka ke sebuah toko modern yang menjual bahan makanan. “Kalian tunggu sini ya, Le, jaga Arsy.” Jika Arsy sudah mengeluarkan titah, berarti hal itu tidak boleh dibantah sehingga Alea menganggukkan kepalanya dengan cepat. Garis bibir Siera tertarik keatas sebentar sebelum ia pergi meninggalkan dua perempuan itu dibawah pohon besar.
            “Sy, Lo masih sakit?” tanya Alea. Arsy menganggukkan kepalanya sembari menunjukkan di skala mana ia masih bisa merasakan sakit tersebut dengan tangannya. Alea membalasnya dengan anggukkan kepalanya. “Kenapa? Kamu sakit juga?” Arsy meletakkan punggung tangannya dikening Alea, dan meletakkan punggung tangannya yang satu lagi di keningnya. “Hmm- Ngga kok, lebih panasan aku,” kekehnya pelan.
            “Ale-“ sahut Arsy. Alea kembali mengarahkan wajahnya kearah Siera. “Apa yang Kamu pikir tentang Siera?” tanyanya tiba-tiba. Kedua mata Alea membulat mendengar pertanyaan tiba-tiba yang dicetuskan oleh Arsy. “Ya- Seseorang yang sempurna dimataku,” balasnya dengan nada yang pahit.
            Arsy seakaan tidak menggubris perasaan yang sedang Siera samarkan. Terlihat jelas akan kecemburuannya terhadap sahabatnya sendiri. Ia tersenyum tipis sebelum melanjutkan pertanyaannya, “Kamu ingin menjadi dia?” Pertanyaan itulah yang mengejutkan Alea, sahabatnya yang lugu ini tidak pernah menjadi provokator.  Namun sekarang, ia merasa terancam. “Siapa yang tidak ingin menjadi dia? Seseorang yang punya segalanya.”
            Ia menatap orang yang disebelahnya dengan raut  wajah kemenangan, “Dan kita seakan seperti sampah.” Memori buruk Alea kembali bermunculan di kepalanya, kenangan ketika ibunya tidak pernah puas akan apa yang putrinya dapat, selalu membandingkannya dengan Siera.
            ‘Ahh- Andai aku punya putri seperti Siera.’
            ‘Kenapa kamu bukan Siera?’
            Alea memegangi kepalanya yang terasa sedikit sakit, ia harus berterimakasih kepada ibunya karena telah membuatnya pergi ke psikiater. “Gue mohon jangan bahas itu,” ketusnya. Perasaannya sekarang sudah bercampur aduk, antara marah dan takut. Sedangkan lawan bicaranya terkekeh pelan hingga Siera datang menyelamatkan keadaan.
            Alea tidak munafik jika ia tidak baik baik saja sekarang, selama perjalanan pulang ia tidak mendengarkan percakapan yang dibuat oleh kedua sahabatnya. Mereka asyik beradu pendapat atau apalah itu, Alea sedang tidak ingin peduli.
            “Alea!” Sahutan Siera mengembalikan Alea dari khayalannya, sehingga ia baru sadar jika Siera sudah membuka pintu rumahnya. “Lo kenapa sih?” tanya Siera jengah. Tidak seharusnya Alea membungkam mulutnya selama perjalanan pulang, karena hanya dia yang bisa membuat perjalanan pulang seakan menyenangkan. Namun Alea tidak sadar akan kelebihannya itu. Ia hanya peduli akan apa yang tidak ada di dirinya.
            Alea menggaruk tengkuknya lalu menggelengkan kepala sembari melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Siera sudah tidak sabar ingin berkutat dengan bumbu dapur, tangannya gatal ingin menciptakan hidangan untuk malam ini. Arsy yang sesekali merasakan sakit pada perutnya hanya bisa menatapi layar televisi dengan tatapan kosong. Alea yang langsung bergegas menuju kamarnya, membuang semua perlengkapan sekolahnya diatas kasur berukuran sedang, lalu merebahkan diri disebelahnya.
            Ia meringkuk seperti bayi, kepalanya mengingat kembali tentang kejadian yang telah ia rasakan. Terdengar rintik hujan yang sedikit demi sedikit menjadi lebat, diiringi oleh suara petir yang memekikkan telinga.
            Ini hari buruk Gue, batinnya.
            Ia menutup tubuhnya tanpa kecuali dengan selimut tebal. Kebiasaan yang ia lakukan bila ia merasa takut. Hingga mimpi sudah mendatanginya sekarang.
            Cahaya putih halus memaksa masuk dari jendela kamar Alea, suara alarm yang keras dan terdengar menyebalkan membangunkan Alea. Ia mengacak-acak rambutnya, kemudia ia bergegas ke kamar mandi karena dia ingat jika ia belum membersihkan tubuhnya semalam, terlihat jika ia masih menggunakan rok abu-abu dan kemeja putihnya.
            Sedangkan Siera sibuk menyiapkan sarapan untuk kedua sahabatnya termasuk dirinya. Pancake dengan siraman sirup khusus yang sengaja ia buat sebagai sirup andalannya. Ketika ia puas dengan apa yang ia buat, ia meletakkan apa yang ia buat diatas meja makan. Ia mendapati Arsy yang sudah berseragam rapih, dan Alea yang sedang memasang dasi sekolahnya.
            “Le, Lo tadi malam ketiduran ya?” tanya Siera yang dibalas dengan anggukan. Siera mendesah pelan dibuatnya, “Lo sekarang makan lebih banyak ya? Ohiya vitaminnya juga lo harus minum, gue ngga mau ngerawat dua orang sakit sekaligus. “
            Arsy terkekeh pelan sebelum ia memasukkan suapan pertama pancake buatan Siera. “Lo bilang begitu tapi nanti juga lo rawat juga,” goda Alea. Siera merengut sebentar sembari menikmati sarapannya. Sekitar sepuluh menit kemudian mereka sudah menyelesaikan hidangan mereka dan bergantian mencuci perlengkapan makan yang mereka pakai. Menyisakan Alea dan Arsy didepan wastafel dapur.
            “Le, Kamu harus tahu, kalau Siera sudah merebut duniamu.” Alea langsung menghentikan aktifitasnya mencuci piring, ia memilih untuk menengok kearah Arsy yang sudah mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan. “Maksud Lo apa?” Alea merasa dirinya terancam ketika Arsy sudah mengeluarkan seringaiannya.
            “Siera jadian dengan Rony kemarin, ditaman, pukul empat sore,” balas Arsy. Nafas Alea tercekat ketika ia mengingat kejadian buruk kemarin, bukan, bukan disaat ia mendengar suara yang memilukan itu, atau disaat ia mengingat perkataan hina ibunya. Bukan, namun kejadian yang membuatnya termenung di sebuah kelas dengan tatapan sendu. Seseorang yang ia kira sebagai belahan jiwanya sekarang sudah menjalin hubungan yang serius dengan Siera.
            Air matanya yang sudah berada di pelupuk mata, jatuh mengenaskan mengenai piring yang sudah ia cuci bersih sebelumnya. Arsy yang melihatnya bergegas mengeluarkan sapu tangannya dan mengusap air mata yang berada di sudut mata Alea. “Kamu tahu, akan sangat mudah bila ia tidak ada,” bisiknya.
            “Kalian ngapain? Loh Alea kamu kenapa?” tanya Siera dengan khawatir. Lagi lagi Alea menggelengkan kepala dibuatnya. Siera mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti, ‘badai apa yang telah menimpa sahabatnya?’
            “Ayuk ke sekolah, nanti telat jika ngga buru-buru!” sahut Arsy. Mata Siera melihat dengan cepat kearah jam dinding yang tidak jauh dengan dapur, mimik wajahnya berubah panik seketika, “Ayo buruan! Aduh udah jam segini aja.” Siera menarik kedua tangan sahabatnya dengan satu tarikan, mengajak mereka untuk berlari bersamanya.
***
            Tepat ketika mereka melangkahkan kaki di dalam lingkungan sekolah, gerbang yang didesai secara otomatis, langsung tertutup tepat disaat jarum jam mengarah ke angka tujuh. Kejadian yang hampir saja membuat mereka tidak bisa sekolah hari ini membuat mereka bisa bernafas lega. Banyak siswa-siswi terutama anak kelas sepuluh yang belum terbiasa sedang meracau kesal karena gerbang sudah tertutup rapat.
            Siera menggiring kedua sahabatnya kearah kelasnya masing-masing. Dan tidak lupa wejangan singkat untuk semangat demi melalui jadwal sekolah hari ini. Alea sadar jika sudut bibirnya tidak bisa diajak kompromi sehingga mengundang kekhawatiran Siera. “Lo kenapa, Le? Lo dari kemarin kayak aneh gitu. Gue kan’ ngga ngerti,” kata Siera. Alea kembali menggelengkan kepalanya mantap dan membuat Siera mencebikkan mulutnya. “Haa- Yaudah, Gue ke kelas gue ya? Kalau mau cerita langsung ke kelas aja, ngga deh- Nanti gue kesini buat maksa Lo cerita. Lo kan’ ngga bakal cerita kalau ngga dipaksa, “ kekehnya. Alea hanya menatapi sahabatnya dengan tatapan datar. Siera melambaikan tangannya keudara dan dibalas dengan diamnya Alea.
            Ia seakan tidak mengikuti pelajaran, tubuhnya boleh duduk di sebelah jendela sembari melihat lurus kedepan. Namun pikirannya sibuk beradu siapa yang harus ia pilih, ego atau sahabatnya? Tidak terasa bel pulang sudah bordering, Alea tidak menyadari jika ia tidak bergerak sekalipun dari tempat duduknya. Ia menatapi langit sore dan bangku-bangku yang ditinggal oleh pemiliknya. Iya, hanya ada dia yang ada disana.  Tubuhnya bangkit dari tempat sebelumnya, tangannya menggapai tas punggungnya dan kakinya menuntunnya untuk pergi kearah yang tidak seharusnya.
            “Alea-“ Suara itu terdengar lagi, memanggilnya dengan nada yang pilu. Perasaan yang yang mendalam, kecemburuan yang mendominasi. Suara itu kembali menuntunnya ke ruangan pengap itu. Ruangan yang belum pernah bisa ia buka. “Alea-“ Suara itu berhenti saat itu, matanya tertuju ke sebuah kerdus berisi benda tajam yang membuat pikirannya kembali beradu.
            ‘Mati! Mati! Mati!’
            “Ingatlah siapa yang telah membuatmu menderita.” Pikiran Alea tiba tiba kosong, ia seakan sudah diperalat oleh suara tersebut, oleh egonya sendiri. Tangannya mengenggam sebilah pisau, pisau kecil yang sangat mematikan. Matanya sibuk mencari-cari orang yang ia anggap sebagai parasit. Siera. Siera. Siera.
            “Siera..” Alea memanggil nama sahabatnya yang sedang membelakangi dirinya. Tidak perlu menunggu lama, Siera berbalik dengan senyuman lebar yang menghilang seketika. Siera melihat sebilah pisau yang Alea genggam dengan erat. “Alea, apa yang kamu-“
            “Kau membuatku menderita. Selama ini. Dan kau tidak sadar itu. “ Pisau itu sudah tertancap sempurna menembus jantung sahabatnya. Alea menarik kembali pisau yang sudah menyatu dengan Siera. “Alea-“ Suara itu, Siera memanggilnya untuk yang terakhir kali, terdengar seperti suara penyesalan yang membuyarkan egonya. Alea kembali, namun sahabatnya sudah tidak ada. Darah merembes kemana-mana, mengotori baju, lantai hingga kulitnya. Nafas Alea seakan tercekat melihat fenomena yang ia ciptakan. Begitu mencekam hingga ia tidak bisa mengeluarkan satu katapun.
            Ia harus lari, tidak. Apa yang harus ia lakukan? Tanyanya dalam hati.
            “Alea-“ Suara itu kembali terdengar. Namun ia tidak lagi sanggup berdiri, ia seorang pembunuh, ia membunuh sahabatnya sendiri. Ia menutupi kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya. Berharap ia tidak lagi kembali melukai orang lain.
            “Alea, kemarilah.” Suara itu, kembali menghipnotisnya. Badannya seakan berdiri sendiri, berjalan mengikuti suara yang lagi-lagi kearah ruangan tanpa ventilasi tersebut. Tangannya menggapai gagang pintu, berusaha membuka pintu yang sebelumnya tidak bisa ia buka, namun sekarang keadaan berbeda. Pintu itu terbuka dengan mudah, menampakkan ruangan kosong tanpa benda apapun didalamnya.
            “Alea- Alea- Apa yang telah kamu lakukan?”
            “Kamu membunuhnya, ia tidak salah apa-apa”
            “Kamu adalah parasit sebenarnya”
            “Kamu yang harus enyah”
            Kedua mata Ale membulat, kenangan kenangannya dengan Siera terlihat dengan jelas di kepalanya, Siera yang selalu ada ketika ia jatuh, bahagia, dan hanya dia yang bisa membuatnya seakan lebih mudah. Air matanya merembes keluar, membasahi kedua pipinya yang sekarang sudah memerah. Matanya tertuju ke sebuah sebilah pisau yang sudah mengubahnya menjadi monster sesungguhnya, bukan, itu hanyalah sebuah alat, dirinyalah yang mengubahnya menjadi monster.
            “Tunggu apalagi, Alea?” Suara itu memaksa Alea untuk melakukannya, ia meguk salivanya sedangkan pikirannya beradu dengan akal sehatnya. Kedua tangannya menuntun sebilah pisau itu kearah lehernya, menggeret secara pelan hingga darah bercucuran dari arah lehernya. Ia mengigit bibirnya sembari menahan rasa sakit sebelum ia menggeret benda tajam itu untuk melewati syaraf yang akan membuat ia mengakhiri segalanya. Dan ia melakukannya. Alea melihat sekilas semburan darah yang keluar tanpa henti dari lehernya, sebelum ia bisa melihat dunia untuk terakhir kalinya.
***
            “Alea!” Suara itu begitu kencang hingga membangunkan raga Alea yang masih ingin bergulat dengan alam bawah sadarnya. Kedua matanya bisa melihat remang-remang cahaya yang membuat Alea bisa melihat keadaan sekitar dengan jelas. Kini ia memutar matanya sembari mencari sumber suara yang sudah membangunkan seorang putri tidur.
            Seorang wanita paruh baya yang berdiri disebelah kasur sembari berkacak pinggang, “Kamu itu, hibernasi ya? Tidur bisa sampai dua minggu lebih gitu,” desahnya dan langsung pergi keluar sembari berteriak memanggil dokter. Alea masih tidak paham apa yang ibunya katakan, mengapa ia begitu baik padanya? Ia melihat salah satu tangannya sudah dipasangi oleh selang infus, dan ia baru sadar bila ia berada di rumah sakit.
            Pria dengan seragam dokter lengkap dengan teleskop yang mengitar lehernya, berjalan tergopoh-gopoh memasuki ruangan. Alea dibuat bingung oleh mereka, mengapa ia ada disini. Ia dengan cepat meraba lehernya yang tidak dibalut oleh apapun, atau jahitan karena luka yang ia buat.
            ‘Apa yang telah terjadi?’ pikirnya
            Dokter itu dengan sigap langsung memeriksa keadaan Alea, sedangkan suster yang dengan setia mengikutinya sekarang sedang memeriksa mesin yang tersambung ditubuhnya. Ketika selesai, ia menghela nafas lega, tanda bila Alea tidak ada kelainan secara fisik.
            “Aku kenapa dok?” kata Ale yang sekarang sudah memberanikan diri untuk bicara. Ibunya yang berada disebelahnya, melihatnya dengan cemas. Mata pria tersebut menatap lurus kearah manik mata Alea, lalu beralih kearah wanita paruh baya yang sudah berada disamping Alea ketika ia ada dirumah sakit. “Kamu tidak ingat kenapa kamu berada disini?”
            “Apa aku berusaha untuk bunuh diri? Bukannya aku seharusnya sudah mati?” tanya Alea bingung, masih segar ingatannya bagaimana ia dengan brutal membunuh sahabatnya, atau ketika ia menggorok lehernya sendiri dengan sebilah pisau. Alea menatapi pria yang ada didepannya dengan penuh tanya. Sebelumnya dokter itu terkejut tentang apa yang Alea nyatakan, kemudia ia menggelengkan kepalanya.
            “Tidak, Anda tidak bunuh diri. Kamu terjangkit sindrom OUTRHUMENOSIS, dimana Anda suka mengkhayalkan sesuatu secara berlebihan, namun kasus Anda bisa dibilang parah.” Alea tercengang mendengarnya, ia memutar bola matanya kearah ibundanya. Mencari sebuah kebenaran di manik matanya. Namun ibunya hanya mengangguk membenarkan keadaan yang sedang ia rasakan kali ini.
“Anda juga mengalami penyakit Addison, yaitu disaat Anda mengalami stress yang juga berlebihan hingga merusak syaraf, namun beruntungnya, anda masih mempunyai kewarasan Anda.
            “Namun, karena tubuh anda seakan menolak, Anda pingsan dan tidak sadarkan diri selama lebih dari dua minggu,” lanjutnya. Kedua mata Alea membulat mendengar pernyataan tersebut, sebegitu parah kah keadaannya sekarang, hingga ia memikirkan dirinya di posisi paling memilukan sekarang. Alea teringat oleh kedua sahabatnya, mengapa ia tida kemari? Apakah mereka tidak peduli dengannya?
            “Ma, Siera dan Arsy kemana? Mengapa mereka tidak ada disini?” Bibirnya bergetar ketika ia menanyakan hal memilukan itu, Alea mengharapkan jika Ibunya menjawab jika kedua sahabatnya sedang punya urusan atau apa- Namun tidak, ia hanya diam ditempatnya. Mimik wajahnya seakan menyalurkan rasa penyesalan terhadapnya. “Apa Siera sudah meninggal, jadi Arsy tidak mau berteman lagi denganku?”
            Kedua pipi ibunya memerah, tetes demi tetes mengali dengan sempurna melewati pipi tirusnya. Ia langsung memeluk anaknya dengan erat dan sesekali mengecup kepala Alea. “Tidak Alea, kamu tidak membunuh siapapun.”
            “Karena mereka memang tidak ada, selama ini kamu sekolah dirumah, sayang,” lanjut ibunya. Alea merasakan sakit, namun ia tidak tahu dimana letak organ tubuhnya yang terluka, ia sekarang bertanya, mengapa manusia bisa merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Apakah belum cukup penyakit yang dilontarkan oleh dokter untuknya? Mengapa begitu pilu ketika yang ia pikir ia alami selama ini adalah ilusi?

End


Q jijik sm drama ini, apa ini 

Rehat

Bagi yang ngga tau, gue ngebuat komik di webtoon dengan judul 'cliche'. Komik tersebut sudah gue ulang sebanyak 3x dengan viewer yan...