Kamu datang bagaikan kilat, bagaikan rintik hujan yang turun
ke tanah, terus menerus tanpa henti. Menghancurkan dinding pelindungku, membawaku
lari dari batas amanku. Mengajakku pergi ke istanamu, memperlakukanku bagaikan
tuan puteri. Entah apa status kita, apakah hanya sebatas titik koma yang bisa
berhenti kapan saja, atau ini semua hanya khayalan mimpiku. Jika begitu,
biarkan aku tertidur dalam jangka yang lama, karena aku masih ingin disini
mendengarkan ocehanmu seperti yang biasa aku lakukan.
Berbagai macam cerita yang kamu lontarkan, suara berat yang
kamu latunkan, membuatku terpaku di tempatku berada. Kadang aku bertanya pada
diriku sendiri, mengapa aku masih ada disini? Kenapa aku masih mendengarkan
ceritanya yang bahkan tidak terlalu menarik untuk didengar. Namun, bibir ini
selalu mengeluarkan tawa secara otomatis, mata ini pernah berurai air mata
ketika kamu sedang bersedih. Pipi ini akan memerah ketika kamu melontarkan
gombalan – gombalan kosongmu. Aku akui, kamu sudah berhasil mengambil semuanya.
Remang – remang lampu mempermudahku untuk melihat wajahmu
dengan jelas, aku ingin sekali berterima kasih kepada Tuhan setiap saat ketika
aku bisa melihat kedua manik matamu yang membuatku semakin rindu. Kamu didepanku,
sedang menyeruput segelas kopi dengan aroma yang bisa tercium oleh indera
penciumanku. Wajahmu seakan menunjukkan bila kamu menikmati minuman yang kamu
minum, terlihat dari kedua matamu yang menatap segelas kopi itu dengan hati –
hati, menyukai tiap tegukkannya sehingga menimbulkan ulasan senyum yang selalu
aku tunggu setiap hari. Aku terkikik ketika tanpa aku sadari, aku iri pada
segelas kopi ekspresso.
“Hmm, kamu kenapa?” tanyamu.
Aku menggelengkan kepalaku, “Tidak, tidak apa – apa. Err-
Tumben sekali kamu mengajakku kesini?” Kedua pipiku memerah sembari melihat
kearah kedua matanya. Memujanya secara diam – diam. Ya, kami sedang berada
tempat yang menurutku romantis, di sebuah kafe yang bisa membawa kita ke masa
lalu. Dengan berbagai macam bunga dan warna menghiasi tiap sudut ruangan.
Ditambah, kamu mengenakan pakaian semi formal yang membuatmu semakin menarik.
Tidak, kamu sempurna walaupun kamu mengenakan pakaian yang biasa kamu kenakan
disaat kamu sedang berada di rumahmu.
Memoriku membuatku ingat kembali kejadian dimana kamu
menungguku dirumahmu, dengan tampilan yang berantakan, sedangkan tanganmu tidak
bisa lepas dari tanganmu. Saat itu aku sedang bersembunyi di balik bangunan,
memerhatikan ekspresi khawatirmu dengan telepon genggam yang senantiasa
menempel di telinga kananmu ketika hari sudah semakin sore. Lalu, kamu langsung
beranjak dari posisi nyamanmu, memasuki rumah kontrakkanmu dan keluar dengan
setelan baju pergi khasmu. Kaos putih dengan garis biru, dipadu oleh celana
panjang bewarna biru tua dan sepatu kets kesukaanmu
Ketika kamu hendak menaiki sepeda motormu, aku muncul
dihadapannya. Ia menoleh kepadaku dengan mata yang melebar namun segera ia
menunjukkan senyum andalannya. Senyum lebar ditambah dengan pelukkan hangat.
“Aku pikir kamu kenapa – kenapa, seharusnya aku yang mengantarkannya
sendiri kerumahmu.” Kata – katamu seakan menunjukkan kekhawatiran yang
mendalam, suaramu semakin mendalam, semakin membuatku berharap lebih.
Kamu menundukkan kepalanya, sehingga aku bisa melihat
wajahnya dengan jelas. Kedua tangannya menangkup wajahku dengan lembut. “Kau
tahu, aku mendengar berita bila ada seorang kriminal yang melarikan diri ke
daerah ini-“ Kedua matanya menghangat,hampir membuatku salah paham bila ada
cinta disana. “Dan tolong angkat telepon dariku,” lanjutnya sembari melepaskan
tangkupannya.
Segera aku tangkis semua khayalanku, dengan wajahku yang
masih menghangat, kedua tanganku berusaha menyalakan telepon genggam milikku. Betapa
terkejutnya aku ketika kamu meneleponku berkali – kali, memenuhi hampir dua
halaman panggilan yang tidak terjawab. Dan mendapatkan banyak pesan yang tidak
terjawab olehmu. Oh tidak, jangan buatku berharap lebih jauh. Tapi rela kah aku
bila melihatmu dengan yang lain? “Jangan buat aku khawatir lagi-“ Kamu
memelukku untuk kedua kalinya hari itu, menjalarkan kehangatan, membuatku
terlindungi dari berbagai macam bahaya. Membuatku semakin terobsesi olehmu.
“Meysa”
“Meysa”
Suaramu berhasil menyelamatkanku dari lautan memori, pipiku
kembali merona terlebih sehabis aku mengingat kenangan indah denganmu. Bila
kita nanti akan berakhir, aku akan lebih memilih bertahan seperti ini. Biarkan
hanya aku yang jatuh cinta, anggap aku bodoh, namun perasaan yang kini
kurasakan seakan membutakanku akan kenyataan.
“Kamu hari ini aneh deh,” kekehmu. “Penasaran ngga kenapa aku
menyuruhmu untuk datang?” Kedua matamu berbinar melihatku, membuatku terkikik
akan tingkahnya yang bersemangat kini. Aku menyukainya, tiap jengkal
ekspresimu. Tidak ada yang tidak aku sukai.
Kamu menungguku untuk menjawab pertanyaannya dengan senyuman
lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Hey, bolehkah aku berharap lagi. Bila
kamu mencintaiku, lebih dari yang pernah kamu sebutkan. Ya, cintai aku sebagai
perempuan. “Tidak, memangnya kenapa?”
Kamu mengeluarkan sebuah buket bunga bewarna merah marun.
Jantung ini berdegup kencang ketika ia menghirup aroma kumpulan bunga mawar
itu. Wajahku kembali memanas, mungkin lebih panas dari yang biasa. Bila aku
tahu saat ini akan datang, aku akan memakai pakaian yang lebih pantas, tidak
seperti yang aku kenakan, kemeja bewarna putih yang dipadu oleh celana pensil
bewarna biru muda.
“Kamu tahu, aku sedang menyukai seseorang. Seseorang yang
sebenarnya sudah aku perhatikan sejak dulu.” Kamu mengatakannya dengan penuh
penghayatan, penuh cinta membuat bibirku mengatup. “Seseorang yang entah kapan
aku perhatikkan sejak lama..” Kamu kembali mendongakkan kepalamu, kedua pipimu
yang sedikit merona. Aku berusaha mencari kebohongan di manik matamu, tapi
tidak. Apakah kamu bersungguh – sungguh?
Kamu segera menarik tanganku sebelum aku berhasil
mengeluarkan kata – kata yang sangat ingin aku keluarkan, ‘Aku mencintaimu,
sudah lama dan kini kamu sudah membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya.’
Namun tidak, sepertinya kata – kata itu tidak akan bisa terucap. Karena kamu
membawaku kehadapan seorang perempuan dengan paras yang sangat cantik bagaikan
tuan puteri sungguhan. Membuatku merasa hanya sebagai tokoh tambahan, atau
mungkin orang kedua di tengah – tengah tokoh utama. Tokoh yang paling di benci
oleh pembaca.
Kamu bersimpuh sedangkan kedua tanganmu menggenggam erat
buket bunga mawar itu dihadapannya. Aku tahu kamu sedang gugup, aku tahu bahwa
kamu menatap perempuan itu dengan penuh cinta. Aku tahu semua, semuanya. Sudah
10 tahun lebih kita bersama, membuatku yakin bila hanya aku yang tahu
kekurangan maupun kelebihanmu selain keluargamu dan Tuhan.
“Arlyn, maukah kamu- Menjadi kekasihku?” Kamu mengucapkannya
tanpa mengetahui, bila perasaanku sudah hancur menjadi berkeping – keping
sekarang. Rusak semua rencana cerita yang ingin aku lakukan denganmu. Apakah
selama ini kamu tidak merasakan perasaan apa yang aku harapkan selama ini? Apa
yang harus aku lakukan sekarang? Mencintaimu dalam diam yang selama ini aku
lakukan?
Arlyn, perempuan itu menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Menimbulkan perasaan senang yang terlukis jelas di wajahmu. Orang – orang disekeliling
mereka menepuk kedua tangannya sembari menggoda pasangan baru hari ini, dan ada
yang memberikan mereka selamat. Aku termasuk orang – orang tersebut, memberikan
tepuk tangan dan kata – kata yang bahkan tidak ingin aku lontarkan.
Oh Tuhan, bila mana Engkau tahu hari ini akan datang. Mengapa
Kamu membiarkan aku merasakan jatuh cinta? Perasaan yang dulu aku anggap
sebagai omong kosong, karena banyak sekali orang – orang yang terpuruk oleh
ini. Dan dengan bodohnya aku merasakannya, sesuatu yang mungkin bisa menutup
pintu hatiku untuk jangka waktu yang sangat lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar