deleted later
too much dramas
GAME OVER
By Suryarini
D
Cahaya jingga menerobos masuk
melalui sela sela gorden, meninggalkan
kesan manis dari langit sore hari itu. Terlihat jarang orang-orang yang
melewati gerbang, karena jarum jam sudah menunjuk kearah lima. Angin berhembus
sembari memainkan anak anak rambut Alea, ya, gadis itu masih berdiam di sebuah
kelas dengan tatapan kosong. Ia sesekali menghembuskan nafas berat dan
menenggelamkan dirinya dibawah alam sadarnya. Mengkhayal lebih tepatnya, dimana
ia bisa memikirkan bahagianya ketika ia bisa mendapatkan apa yang ia mau.
Keinginannya mungkin bisa ia impikan, tetapi sulit ia gapai.
Decitan pintu kelas terdengar
memekikkan gendang suara Alea, ia tanpa sadar langsung menatap kesal siapa
gerangan yang membuka pintu belakang kelasnya.
Siera.
Seorang gadis percaya diri dengan
rambut hitam bergelombangnya, matanya memicingkan secara tajam kearah Alea
dengan jengah. Ia berdiam ditempat sembari mengatur nafasnya, lalu ia
langkahkan tungkai kakinya dengan nada cepat kearah gadis pengkhayal itu.
“Alea! Gue sama Arsy nyariin lo, eh
lonya malah disini,” cercanya. Gadis didepannya hanya bisa terkekeh pelan
sembari menepuk-nepuk tempat duduk disebelahnya. “Duduk, Gue tadi lelah
gara-gara abis dari klub ‘pencinta binatang,’ tadi gue dapet giliran piket buat ngasih makan.” Siera hanya
menganggukkan kepalanya tanda mengerti, ia mendongakkan kepala kearah pintu
yang kembali terbuka. Garis mulutnya tertarik keatas ketika menyadari
keberadaan sahabatnya yang lain, Arsy.
“Loh kok kalian malah santai disini,
Aku tadi nyariin sampai gedung sebelah loh,” kata Arsy sembari diikuti dengan mencebik mulut. Siera terlihat gemas
melihat sahabatnya yang sedang merungut kesal diambang pintu. Tidak butuh lama,
Arsy sudah menduduki salah satu tempat duduk didepan Siera. “Jadi, kita pulang?”
tanyanya polos. Alea menganggukkan kepalanya dengan malas.
“Ya- Tapi, kita harus beli
bahan-bahan makanan buat nanti malam.” Siera menyambar tas punggungnya yang
bewarna merah marun dan beranjak dari tempat duduknya. Sedangkan kedua
sahabatnya juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka berjalan beriringan
menuju koridor sekolah.
Arsy tiba-tiba memegangi perutnya,
mukanya berubah pucat pasi dengan sorotan mata yang menyiksa. Siera yang cepat
menyadari jika sahabatnya sedang kesakitan tanpa sadar langsung membawa lari
Arsy kearah ruangan UKS.
“Dih ditinggal lagi.” Alea
membenarkan selempangan tas punggungnya dan terus berjalan hingga ia mendengar
seseorang memanggil namanya. Namun, ketika ia melihat kebelakang, tidak ada
siapa-siapa. Bulu kuduknya merinding, suaranya lagi-lagi terdengar menggelitik organ
pendengarannya. Suaranya semakin terdengar ketika ia berusaha berjalan cepat
lurus kedepan. Entah mengapa kakinya berhenti didepan pintu di sebuah ruangan
yang tidak mempunyai ventilasi. Ia tidak tahu pasti mengapa sekolahnya
mempunyai ruangan tersebut, banyak yang bilang bila ada kesalahan dalam
pembangunanya. Jadi ruangan ini memang sengaja terbengkalai.
“Alea-“ Nafasnya tercekat ketika
namanya kembali terdengar. Suara itu seakan memaksanya untuk membuka pintu
ruangan tersebut, tetapi tidak berhasil. “Alea-“ “Alea-“ “Alea-“
Ia tidak tahan, ingin rasanya
berlari dengan cepat meninggalkan sekolah ini, dan berlindung dibawah selimut
seperti yang ia lakukan ketika suara petir terdengar memekikkan telinganya.
“Alea-“ Badannya tanpa sengaja
tersungkur kebelakang karena ia merasakan sentuhan di pundakknya. Matanya
tertuju ke arah manik mata sahabatnya, Siera. Arsy yang memang keadaanya sedang
lemah hanya bisa menatapnya dengan tatapan lelah. “Kamu kenapa?”
Alea kembali menatap pintu yang
tepat dibelakangnya sekali lagi, memastikan jika ia tidak lagi mendengar namanya
dipanggil secara memilukan. Hanya gelengan kepala yang bisa ia tunjukkan kepada
Siera, seakan ketakutan sudah membungkam mulutnya.
Siera menyempatkan untuk menghela
nafas sebelum ia menggapai tangan Alea untuk segera pergi dari sekolah yang
dianggap ‘penjara’ bagi kebanyakan siswa-siswi.
Di perjalanan pulang, mentari seakan
meredupkan cahayanya sedangkan rembulan sudah muncul dengan tidak sabar ingin
mendapatkan perannya hari ini. Alea mengadahkan kepalanya memerhatikan langit
sembari menetralisir ketakutannya tadi.
Seseorang
memanggilnya, tapi mengapa? Pikirnya
“Le, Lo ngga apa-apa kan’ makan
bubur hari ini? Badannya Arsy panas banget, maagnya dia kambuh. Tadi sih dia
udah minum promag, tapi tetep aja Gue ngga yakin dia bisa makan berat macam
burger gitu,” kata Siera panjang lebar. Alea hanya menatap sahabatnya dengan
tatapan sendu, didepannya ada perempuan yang bisa dikatakan sempurna oleh
orang-orang disekitarnya. Siera mempunyai kekayaan, kecantikan, kepintaran, dan
hal-hal lain yang Alea tidak punya maupun yang tidak ia kuasai. “Apapun boleh,
yang penting makan, “ balasnya sembari memecah suasana.
“Yee, Lo mah enak tinggal makan.
Bantu kek sekali-sekali,” kata Siera dengan sarkastis.
Arsy yang melihat argument yang dibuat oleh kedua sahabatnya hanya bisa
terkekeh sembari sesekali memegangi perutnya. Perih katanya.
Tidak terasa langkah kakinya sudah membawa
mereka ke sebuah toko modern yang menjual bahan makanan. “Kalian tunggu sini
ya, Le, jaga Arsy.” Jika Arsy sudah mengeluarkan titah, berarti hal itu tidak
boleh dibantah sehingga Alea menganggukkan kepalanya dengan cepat. Garis bibir
Siera tertarik keatas sebentar sebelum ia pergi meninggalkan dua perempuan itu
dibawah pohon besar.
“Sy, Lo masih sakit?” tanya Alea.
Arsy menganggukkan kepalanya sembari menunjukkan di skala mana ia masih bisa merasakan sakit tersebut dengan tangannya.
Alea membalasnya dengan anggukkan kepalanya. “Kenapa? Kamu sakit juga?” Arsy
meletakkan punggung tangannya dikening Alea, dan meletakkan punggung tangannya
yang satu lagi di keningnya. “Hmm- Ngga kok, lebih panasan aku,” kekehnya
pelan.
“Ale-“ sahut Arsy. Alea kembali mengarahkan
wajahnya kearah Siera. “Apa yang Kamu pikir tentang Siera?” tanyanya tiba-tiba.
Kedua mata Alea membulat mendengar pertanyaan tiba-tiba yang dicetuskan oleh
Arsy. “Ya- Seseorang yang sempurna dimataku,” balasnya dengan nada yang pahit.
Arsy seakaan tidak menggubris
perasaan yang sedang Siera samarkan. Terlihat jelas akan kecemburuannya terhadap
sahabatnya sendiri. Ia tersenyum tipis sebelum melanjutkan pertanyaannya, “Kamu
ingin menjadi dia?” Pertanyaan itulah yang mengejutkan Alea, sahabatnya yang
lugu ini tidak pernah menjadi provokator.
Namun sekarang, ia merasa terancam. “Siapa
yang tidak ingin menjadi dia? Seseorang yang punya segalanya.”
Ia menatap orang yang disebelahnya
dengan raut wajah kemenangan, “Dan kita
seakan seperti sampah.” Memori buruk
Alea kembali bermunculan di kepalanya, kenangan ketika ibunya tidak pernah puas
akan apa yang putrinya dapat, selalu membandingkannya dengan Siera.
‘Ahh- Andai aku punya putri seperti
Siera.’
‘Kenapa kamu bukan Siera?’
Alea memegangi kepalanya yang terasa
sedikit sakit, ia harus berterimakasih kepada ibunya karena telah membuatnya
pergi ke psikiater. “Gue mohon jangan
bahas itu,” ketusnya. Perasaannya sekarang sudah bercampur aduk, antara marah
dan takut. Sedangkan lawan bicaranya terkekeh pelan hingga Siera datang menyelamatkan
keadaan.
Alea tidak munafik jika ia tidak
baik baik saja sekarang, selama perjalanan pulang ia tidak mendengarkan
percakapan yang dibuat oleh kedua sahabatnya. Mereka asyik beradu pendapat atau
apalah itu, Alea sedang tidak ingin peduli.
“Alea!” Sahutan Siera mengembalikan
Alea dari khayalannya, sehingga ia baru sadar jika Siera sudah membuka pintu
rumahnya. “Lo kenapa sih?” tanya Siera jengah. Tidak seharusnya Alea membungkam
mulutnya selama perjalanan pulang, karena hanya dia yang bisa membuat
perjalanan pulang seakan menyenangkan. Namun Alea tidak sadar akan kelebihannya
itu. Ia hanya peduli akan apa yang tidak ada di dirinya.
Alea menggaruk tengkuknya lalu
menggelengkan kepala sembari melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Siera sudah
tidak sabar ingin berkutat dengan bumbu dapur, tangannya gatal ingin
menciptakan hidangan untuk malam ini. Arsy yang sesekali merasakan sakit pada
perutnya hanya bisa menatapi layar televisi dengan tatapan kosong. Alea yang
langsung bergegas menuju kamarnya, membuang semua perlengkapan sekolahnya
diatas kasur berukuran sedang, lalu merebahkan diri disebelahnya.
Ia meringkuk seperti bayi, kepalanya
mengingat kembali tentang kejadian yang telah ia rasakan. Terdengar rintik
hujan yang sedikit demi sedikit menjadi lebat, diiringi oleh suara petir yang
memekikkan telinga.
Ini
hari buruk Gue, batinnya.
Ia menutup tubuhnya tanpa kecuali
dengan selimut tebal. Kebiasaan yang ia lakukan bila ia merasa takut. Hingga
mimpi sudah mendatanginya sekarang.
Cahaya putih halus memaksa masuk
dari jendela kamar Alea, suara alarm yang keras dan terdengar menyebalkan
membangunkan Alea. Ia mengacak-acak rambutnya, kemudia ia bergegas ke kamar
mandi karena dia ingat jika ia belum membersihkan tubuhnya semalam, terlihat
jika ia masih menggunakan rok abu-abu dan kemeja putihnya.
Sedangkan Siera sibuk menyiapkan
sarapan untuk kedua sahabatnya termasuk dirinya. Pancake dengan siraman sirup khusus yang sengaja ia buat sebagai
sirup andalannya. Ketika ia puas dengan apa yang ia buat, ia meletakkan apa
yang ia buat diatas meja makan. Ia mendapati Arsy yang sudah berseragam rapih,
dan Alea yang sedang memasang dasi sekolahnya.
“Le, Lo tadi malam ketiduran ya?”
tanya Siera yang dibalas dengan anggukan. Siera mendesah pelan dibuatnya, “Lo
sekarang makan lebih banyak ya? Ohiya vitaminnya juga lo harus minum, gue ngga
mau ngerawat dua orang sakit sekaligus. “
Arsy terkekeh pelan sebelum ia
memasukkan suapan pertama pancake buatan
Siera. “Lo bilang begitu tapi nanti juga lo rawat juga,” goda Alea. Siera
merengut sebentar sembari menikmati sarapannya. Sekitar sepuluh menit kemudian mereka
sudah menyelesaikan hidangan mereka dan bergantian mencuci perlengkapan makan
yang mereka pakai. Menyisakan Alea dan Arsy didepan wastafel dapur.
“Le, Kamu harus tahu, kalau Siera
sudah merebut duniamu.” Alea langsung menghentikan aktifitasnya mencuci piring,
ia memilih untuk menengok kearah Arsy yang sudah mengeluarkan pernyataan yang
menyakitkan. “Maksud Lo apa?” Alea merasa dirinya terancam ketika Arsy sudah
mengeluarkan seringaiannya.
“Siera jadian dengan Rony kemarin, ditaman,
pukul empat sore,” balas Arsy. Nafas Alea tercekat ketika ia mengingat kejadian
buruk kemarin, bukan, bukan disaat ia mendengar suara yang memilukan itu, atau
disaat ia mengingat perkataan hina ibunya. Bukan, namun kejadian yang
membuatnya termenung di sebuah kelas dengan tatapan sendu. Seseorang yang ia
kira sebagai belahan jiwanya sekarang sudah menjalin hubungan yang serius
dengan Siera.
Air matanya yang sudah berada di
pelupuk mata, jatuh mengenaskan mengenai piring yang sudah ia cuci bersih
sebelumnya. Arsy yang melihatnya bergegas mengeluarkan sapu tangannya dan
mengusap air mata yang berada di sudut mata Alea. “Kamu tahu, akan sangat mudah
bila ia tidak ada,” bisiknya.
“Kalian ngapain? Loh Alea kamu kenapa?”
tanya Siera dengan khawatir. Lagi lagi Alea menggelengkan kepala dibuatnya.
Siera mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti, ‘badai apa yang telah menimpa
sahabatnya?’
“Ayuk ke sekolah, nanti telat jika
ngga buru-buru!” sahut Arsy. Mata Siera melihat dengan cepat kearah jam dinding
yang tidak jauh dengan dapur, mimik wajahnya berubah panik seketika, “Ayo buruan!
Aduh udah jam segini aja.” Siera menarik kedua tangan sahabatnya dengan satu
tarikan, mengajak mereka untuk berlari bersamanya.
***
Tepat ketika mereka melangkahkan
kaki di dalam lingkungan sekolah, gerbang yang didesai secara otomatis,
langsung tertutup tepat disaat jarum jam mengarah ke angka tujuh. Kejadian yang
hampir saja membuat mereka tidak bisa sekolah hari ini membuat mereka bisa
bernafas lega. Banyak siswa-siswi terutama anak kelas sepuluh yang belum
terbiasa sedang meracau kesal karena gerbang sudah tertutup rapat.
Siera menggiring kedua sahabatnya
kearah kelasnya masing-masing. Dan tidak lupa wejangan singkat untuk semangat
demi melalui jadwal sekolah hari ini. Alea sadar jika sudut bibirnya tidak bisa
diajak kompromi sehingga mengundang kekhawatiran Siera. “Lo kenapa, Le? Lo dari
kemarin kayak aneh gitu. Gue kan’ ngga ngerti,” kata Siera. Alea kembali
menggelengkan kepalanya mantap dan membuat Siera mencebikkan mulutnya. “Haa-
Yaudah, Gue ke kelas gue ya? Kalau mau cerita langsung ke kelas aja, ngga deh-
Nanti gue kesini buat maksa Lo cerita. Lo kan’ ngga bakal cerita kalau ngga
dipaksa, “ kekehnya. Alea hanya menatapi sahabatnya dengan tatapan datar. Siera
melambaikan tangannya keudara dan dibalas dengan diamnya Alea.
Ia seakan tidak mengikuti pelajaran,
tubuhnya boleh duduk di sebelah jendela sembari melihat lurus kedepan. Namun
pikirannya sibuk beradu siapa yang harus ia pilih, ego atau sahabatnya? Tidak
terasa bel pulang sudah bordering, Alea tidak menyadari jika ia tidak bergerak
sekalipun dari tempat duduknya. Ia menatapi langit sore dan bangku-bangku yang
ditinggal oleh pemiliknya. Iya, hanya ada dia yang ada disana. Tubuhnya bangkit dari tempat sebelumnya,
tangannya menggapai tas punggungnya dan kakinya menuntunnya untuk pergi kearah
yang tidak seharusnya.
“Alea-“ Suara itu terdengar lagi,
memanggilnya dengan nada yang pilu. Perasaan yang yang mendalam, kecemburuan
yang mendominasi. Suara itu kembali menuntunnya ke ruangan pengap itu. Ruangan
yang belum pernah bisa ia buka. “Alea-“ Suara itu berhenti saat itu, matanya
tertuju ke sebuah kerdus berisi benda tajam yang membuat pikirannya kembali
beradu.
‘Mati! Mati! Mati!’
“Ingatlah siapa yang telah membuatmu
menderita.” Pikiran Alea tiba tiba kosong, ia seakan sudah diperalat oleh suara
tersebut, oleh egonya sendiri. Tangannya mengenggam sebilah pisau, pisau kecil
yang sangat mematikan. Matanya sibuk mencari-cari orang yang ia anggap sebagai parasit.
Siera. Siera. Siera.
“Siera..” Alea memanggil nama
sahabatnya yang sedang membelakangi dirinya. Tidak perlu menunggu lama, Siera
berbalik dengan senyuman lebar yang menghilang seketika. Siera melihat sebilah
pisau yang Alea genggam dengan erat. “Alea, apa yang kamu-“
“Kau membuatku menderita. Selama
ini. Dan kau tidak sadar itu. “ Pisau itu sudah tertancap sempurna menembus
jantung sahabatnya. Alea menarik kembali pisau yang sudah menyatu dengan Siera.
“Alea-“ Suara itu, Siera memanggilnya untuk yang terakhir kali, terdengar
seperti suara penyesalan yang membuyarkan egonya. Alea kembali, namun
sahabatnya sudah tidak ada. Darah merembes kemana-mana, mengotori baju, lantai
hingga kulitnya. Nafas Alea seakan tercekat melihat fenomena yang ia ciptakan.
Begitu mencekam hingga ia tidak bisa mengeluarkan satu katapun.
Ia
harus lari, tidak. Apa yang harus ia lakukan? Tanyanya dalam hati.
“Alea-“ Suara itu kembali terdengar.
Namun ia tidak lagi sanggup berdiri, ia seorang pembunuh, ia membunuh
sahabatnya sendiri. Ia menutupi kedua telinganya dengan kedua telapak
tangannya. Berharap ia tidak lagi kembali melukai orang lain.
“Alea, kemarilah.” Suara itu,
kembali menghipnotisnya. Badannya seakan berdiri sendiri, berjalan mengikuti
suara yang lagi-lagi kearah ruangan tanpa ventilasi tersebut. Tangannya
menggapai gagang pintu, berusaha membuka pintu yang sebelumnya tidak bisa ia
buka, namun sekarang keadaan berbeda. Pintu itu terbuka dengan mudah, menampakkan
ruangan kosong tanpa benda apapun didalamnya.
“Alea- Alea- Apa yang telah kamu
lakukan?”
“Kamu membunuhnya, ia tidak salah
apa-apa”
“Kamu adalah parasit sebenarnya”
“Kamu yang harus enyah”
Kedua mata Ale membulat, kenangan
kenangannya dengan Siera terlihat dengan jelas di kepalanya, Siera yang selalu
ada ketika ia jatuh, bahagia, dan hanya dia yang bisa membuatnya seakan lebih
mudah. Air matanya merembes keluar, membasahi kedua pipinya yang sekarang sudah
memerah. Matanya tertuju ke sebuah sebilah pisau yang sudah mengubahnya menjadi
monster sesungguhnya, bukan, itu hanyalah sebuah alat, dirinyalah yang
mengubahnya menjadi monster.
“Tunggu apalagi, Alea?” Suara itu
memaksa Alea untuk melakukannya, ia meguk salivanya sedangkan pikirannya beradu
dengan akal sehatnya. Kedua tangannya menuntun sebilah pisau itu kearah
lehernya, menggeret secara pelan hingga darah bercucuran dari arah lehernya. Ia
mengigit bibirnya sembari menahan rasa sakit sebelum ia menggeret benda tajam
itu untuk melewati syaraf yang akan membuat ia mengakhiri segalanya. Dan ia
melakukannya. Alea melihat sekilas semburan darah yang keluar tanpa henti dari
lehernya, sebelum ia bisa melihat dunia untuk terakhir kalinya.
***
“Alea!” Suara itu begitu kencang
hingga membangunkan raga Alea yang masih ingin bergulat dengan alam bawah
sadarnya. Kedua matanya bisa melihat remang-remang cahaya yang membuat Alea
bisa melihat keadaan sekitar dengan jelas. Kini ia memutar matanya sembari
mencari sumber suara yang sudah membangunkan seorang putri tidur.
Seorang wanita paruh baya yang
berdiri disebelah kasur sembari berkacak pinggang, “Kamu itu, hibernasi ya? Tidur
bisa sampai dua minggu lebih gitu,” desahnya dan langsung pergi keluar sembari
berteriak memanggil dokter. Alea masih tidak paham apa yang ibunya katakan,
mengapa ia begitu baik padanya? Ia melihat salah satu tangannya sudah dipasangi
oleh selang infus, dan ia baru sadar bila ia berada di rumah sakit.
Pria dengan seragam dokter lengkap
dengan teleskop yang mengitar lehernya, berjalan tergopoh-gopoh memasuki
ruangan. Alea dibuat bingung oleh mereka, mengapa ia ada disini. Ia dengan
cepat meraba lehernya yang tidak dibalut oleh apapun, atau jahitan karena luka
yang ia buat.
‘Apa yang telah terjadi?’ pikirnya
Dokter itu dengan sigap langsung
memeriksa keadaan Alea, sedangkan suster yang dengan setia mengikutinya
sekarang sedang memeriksa mesin yang tersambung ditubuhnya. Ketika selesai, ia
menghela nafas lega, tanda bila Alea tidak ada kelainan secara fisik.
“Aku kenapa dok?” kata Ale yang
sekarang sudah memberanikan diri untuk bicara. Ibunya yang berada disebelahnya,
melihatnya dengan cemas. Mata pria tersebut menatap lurus kearah manik mata
Alea, lalu beralih kearah wanita paruh baya yang sudah berada disamping Alea
ketika ia ada dirumah sakit. “Kamu tidak ingat kenapa kamu berada disini?”
“Apa aku berusaha untuk bunuh diri?
Bukannya aku seharusnya sudah mati?” tanya Alea bingung, masih segar ingatannya
bagaimana ia dengan brutal membunuh sahabatnya, atau ketika ia menggorok
lehernya sendiri dengan sebilah pisau. Alea menatapi pria yang ada didepannya
dengan penuh tanya. Sebelumnya dokter itu terkejut tentang apa yang Alea
nyatakan, kemudia ia menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Anda tidak bunuh diri. Kamu
terjangkit sindrom OUTRHUMENOSIS, dimana
Anda suka mengkhayalkan sesuatu secara berlebihan, namun kasus Anda bisa
dibilang parah.” Alea tercengang mendengarnya, ia memutar bola matanya kearah
ibundanya. Mencari sebuah kebenaran di manik matanya. Namun ibunya hanya
mengangguk membenarkan keadaan yang sedang ia rasakan kali ini.
“Anda juga mengalami penyakit Addison, yaitu disaat Anda mengalami stress yang juga berlebihan
hingga merusak syaraf, namun beruntungnya, anda masih mempunyai kewarasan Anda.
“Namun, karena tubuh anda seakan
menolak, Anda pingsan dan tidak sadarkan diri selama lebih dari dua minggu,”
lanjutnya. Kedua mata Alea membulat mendengar pernyataan tersebut, sebegitu
parah kah keadaannya sekarang, hingga ia memikirkan dirinya di posisi paling
memilukan sekarang. Alea teringat oleh kedua sahabatnya, mengapa ia tida
kemari? Apakah mereka tidak peduli dengannya?
“Ma, Siera dan Arsy kemana? Mengapa
mereka tidak ada disini?” Bibirnya bergetar ketika ia menanyakan hal memilukan
itu, Alea mengharapkan jika Ibunya menjawab jika kedua sahabatnya sedang punya
urusan atau apa- Namun tidak, ia hanya diam ditempatnya. Mimik wajahnya seakan
menyalurkan rasa penyesalan terhadapnya. “Apa Siera sudah meninggal, jadi Arsy
tidak mau berteman lagi denganku?”
Kedua pipi ibunya memerah, tetes
demi tetes mengali dengan sempurna melewati pipi tirusnya. Ia langsung memeluk
anaknya dengan erat dan sesekali mengecup kepala Alea. “Tidak Alea, kamu tidak
membunuh siapapun.”
“Karena mereka memang tidak ada,
selama ini kamu sekolah dirumah, sayang,” lanjut ibunya. Alea merasakan sakit,
namun ia tidak tahu dimana letak organ tubuhnya yang terluka, ia sekarang
bertanya, mengapa manusia bisa merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Apakah
belum cukup penyakit yang dilontarkan oleh dokter untuknya? Mengapa begitu pilu
ketika yang ia pikir ia alami selama ini adalah ilusi?
End
Q jijik sm
drama ini, apa ini